The House on Mango Street dan Caramelo adalah dua novel karya Sandra
Cisneros yang berkisah tentang kehidupan immigran Latin di Amerika Serikat.
Kedua novel tersebut dikisahkan melui sudut pandang dua tokoh utama dalam kedua
novel tersebut, Esperanza dan Celaya. Novel ini merupakan novel Coming-of-age karena memuat kisah hidup
kedua protagonis dalam novel tersebut sedari masih kecil hingga beranjak
dewasa. Sedankan Woman Hollering Creek
dan Eleven adalah dua cerita pendek
karya Sandra Cisneros yang berada dalam kumpulan cerita pendek bertajuk Woman Hollering Creek and Other Stories.
Permasalahan utama yang saya temukan dalam karya-karya tersebut adalah
permasalahan mengenai identitas yang dialami oleh kaum imigran latin di Amerika
Serikat. Para imigran tersebut seakan mengalami ambivalensi terhadap identitas
mereka. Pada saat yang bersamaan, mereka menerima dan menolak untuk dikenakan
dalam suatu budaya dari dua budaya yang melekat. Masalah berikutnya yang saya
temukan, dan masih ada kaitannya dengan permasalahan sebelumhya, adalah tentang
growing-up. Dimana pada masa pencarian
identitas itu, tokoh-tokoh dalam karya Sandra Cisneros tumbuh dewasa dan
dibentuk dalam dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Amerika Serikat dan budaya
Latin. Saya pun menemukan permasalahan tentang bagaimana peranan perempuan
dalam suatu budaya. Bagaimana dalam hubungan lelaki dan perempuan terbentuk
suatu hirarki, yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan
pria dalam suatu konstruksi budaya.
Beberapa narasi
dalam karya-karya Sandra Cisneros, menggambarkan bahwa tokoh-tokoh dalam kisah
tersebut memiliki rasa kepemilikan akan tanah air asal mereka dan tetap
menjalankan budaya asal mereka, yang menjadi budaya minoritas di tempat mereka
tinggal, sehingga rumah bagi mereka adalah tanah air asal mereka. Namun disisi
lain, para tokoh dalam kisah-kisah tersebut seakan membaur dengan budaya
mayoritas ditempat tinggal mereka, yaitu budaya Amerika, dan menjadikan
Amerika, secara sadar maupun tak sadar, menjadi rumah kedua pula bagi mereka.
Seperti yang dijelaskan dalam The World and The Home oleh Homi Bhaba, “to be unhomed is not to be homeless, nor that the “unhomely” be easily
accomodated in that familiat division of social life into private and the public
spheres.” (Bhabha, halaman 141). Para tokoh dalam karya Cisneros mengalami
apa yang disebut Bhaba sebagai unhomely.
Bukan keadaan mereka tidak memiliki rumah sebagai payung berteduh mereka, namun
lebih kepada rasa kepemilikan yang mereka miliki. Konsep rumah itu sendiri
dapat kita lihat melalui perspektif tokoh Esperanza dalam novel The House on Mango Steet dalam di bawah
ini:
“We didn’t always live on Mango Street.
Before that we lived on Loomis on the third floor, and before that we lived on
Keeler. Before Keeler it was Paulina, and before that I can’t remember. But
what I remember most is moving a lot. Each time it seemed there’d be one more
of us. By the time we got to Mango Street we were six—Mama, Papa, Carlos, Kiki,
my sister Nenny and me.” (Cisneros, halaman 3)
“I knew then I had to have a house. A real
house. One I could point to. But this isn’t it. The house on Mango Street isn’t
it. For the time being, Mama says. Temporary, Papa says. But I know how those
things go.” (Cisneros, halaman 5)
“We didn’t always live on Mango Street.
Before that we lived on Loomis on the third floor, and before that we lived on
Keeler. Before Keeler it was Paulina, but what I remember most is Mango Street,
sad red house, the house I belong but do not belong to.” (Cisneros, halaman
109-110)
Pada dua kutipan
pertama, dapat kita lihat bagaimana Esperanza memandang rumah yang ia tinggali
di Mango Street dan bagaimana pandangannya tentang rumahnya berubah pada
kutipan ketiga. Pada dua kutipan pertama, Esperanza mengalami apa yang disebut
Bhabha sebagai displacement, dan pada
kutipan ketiga Esperanza sudah mulai dapat menerima rumahnya di Mango Street
sebagai rumah untuk pulang, namun kalimat “the
house I belong but not belong to” masih menunjukan ada nya paradoks yang
terjadi didalam dirinya. Disatu sisi ia memiliki rasa kepemilikan atas rumahnya
di Mango Street, namun disisi lain tidak.
Apa yang disebut
Bhabha sebagai displacement bukan
hanya dialami oleh karakter Esperanza,
kita bisa melihat contoh lain dari displacement
yang mengakibatkan keterasingan pada karakter Mamacita yang diceritakan sekilas
dalam novel The House on Mango Street.
Walaupun digambarkan secara sekilas, tokoh Mamacita menjadi signifikan dan
penting karena Mamacita digambarkan sebagai pribadi yang sama sekali tak mau
berbaur dengan budaya mayoritas di tempat tinggalnya. Ia tak menggunakan bahasa
Inggris, dan setiap malam selalu menangis dan mendengarkan radio dengan bahasa
Spanyol. Esperanza menggambarkan Mamacita sebagai seorang yang takut untuk menggunakan
bahasa Inggris yang merupakan bahasa mayoritas dan hanya mengetahui delapan
kata dalam bahasa tersebut. Hal ini yang membuat Mamacita teralienasi dari
lingkungannya.
Keterasingan
yang dirasakan karena benturan dua budaya yang berbeda bukan hanya dapat kita
temukan pada karakter Mamacita dalam The
House on Mango Street namun juga dapat kita lihat pada karakter Rafael
dalam novel Caramelo sesaat setelah
Rafael kembali ke Amerika setelah mengenyam pendidikan di sekolah militer di
Meksiko.
“He tries talking to us in Spanish, but we
don’t use that language with kids, we only use it with growns-ups. We ignore
him and keep watching our television cartoons.
Later when he feels like it and can talk about it, he’ll
explain what it’s like to be abandoned by your parents and left in the country
where you don’t have enough words to speak the things inside you.”
(Cisneros, halaman 23)
Keadaan terasing dari dari dunia luar dijelaskan Bhabha
dalam The world and the Home, “It could be said of these moments that they are
of the world but not fully in it; thay they represent the outsideness of the
outsideness of the inside that is too painful to remember.” (Bhabha, halaman
152)
Ketaksaan akan
dua kultur yang berbeda dapat kita lihat pula dalam novel Caramelo pada saat Celaya atau Lala, sang tokoh utama yang
sekaligus pula berperan sebagai narator, dan keluarganya pergi melintasi
perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Lala berkata,”As soon as we cross the bridge everything switches to another language.
Toc, says the light switch in this
country, at home it says click.” (Cisneros, halaman 17). Dapat kita lihat
bagaimana Lala mengatakan bahwa Meksiko adalah “home” namun disisi lain ia merasa asing ketika bahasa yang ia
gunakan di negara tempat ia tinggal tak lagi menjadi bahasa nomer satu di
tempat yang ia sebut sebagai “home”-nya.
Disini peran perbatasan menjadi
signifikan. Ketika melintasi perbatasan, Lala melintasi antara satu
tempat ke tempat lain dengan dua budaya yang berbeda, ke tempat yang seharusnya
menjadi rumah baginya namun terasa asing karena ia tak dibesarkan disana, namun
ia masih memiliki rasa kepemilikan karena ayah dan ibunya berasal dari sana,
seperti yang dijelaskan Bhabha dalam The world and the Home pada halaman 143, “suddenly the home turns into another world”.
Saat itulah, melintasi perbatasaan, berarti melintasi dua kultur yang berbeda.
Batas antara mana yang sebenarnya rumah, dan mana yang sebenarnya tempat merantau
menjadi kabur, karena ditempat yang dianggap rumah pun, ia merasa asing, Hal
ini dijelaskan pula oleh Bhabha;
“The border between home and world becomes
confused; and, uncannily, the private and the public become part of each other,
forcing upon us a vision that is as divided as it is disorienting.”
(Bhabha, halaman 141).
Perasaan asing
akan suatu tempat yang dianggap rumah karena tidak dibesarkan disana merupakan
permasalahan yang terjadi ketika kita tumbuh dewasa diatas dua kultur yang
berbeda. Permasalah tentang beranjak dewasa (growing up) ini juga hadir dalam cerita pendek berjudul Eleven dalam kumpulan cerita pendek Woman Hollering Creek and Other Stories.
Cerpen ini bertutur dari sudut pandang seorang anak perempuan yang sedang
merayakan ulang tahunnya yang kesebelas pada hari itu. Bagaimana menurutnya,
berumur sebelas tahun berarti dituntut untuk bersikap lebih dewasa dari
sebelumnya, untuk tidak menangis seperti anak usia tiga tahun, namun sebenarnya
dalam dirinya ia masih memiliki sifat-sifat kekenak-kanakan.
Selain itu,
narator dalam karya-karya Sandra Cisneros seolah menuturkan tentang adanya
ketidaksetaraan gender dalam masyarakat, dimana terdapat suatu hirarki yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Narator
dalam karya-karya Sandra Cisneros adalam para tokoh perempuan yang menjadi
tokoh sentral dalam cerita, sehingga mereka seakan mempertanyakan dan melawan
adanya ketidak setaraan tersebut.
Dalam The House on Mango Street terdapat
beberapa tokoh laki-laki abusive yang
menjadikan tokoh perempuan dalam cerita sebagai korbannya. Diantaranya adalah
suami dari Mamacita dan Ayah dari Sally. Begitu pula dalam cerpen Woman Hollering Creek dari buku kumpulan
cerpen Woman Hollering Creek and other
Stories yang mengisahkan suami yang memukuli istrinya. Kekerasan itu dapat
terjadi karena adanya hirarki yang menempatkan pria ditempat yang lebih tinggi,
sehingga para tokoh laki-laki dalam cerita merasa memiliki power lebih yang membuat ia merasa dapat bertindak abusive pada
para tokoh perempuan dalam cerita.
Hirarki tersebut
tergambar dalam percakapa antara Rafael dan Lala dalam novel Caramelo;
“Especially the brothers laugh and point and
call me a boy.
--Oh, brother! What a chillona you turned out to be. Now
what? Mother asks.
—What could be worst than being a boy?
--Being a girl! Rafa shouts. And everyone in the car
laughs even harder.” (Cisneros, halaman 22)
Selain itu,
karakter Esperanza dalam novel The House
on Mango Street digambarkan sebagai perempuan yang berpikiran modern dan
memiliki pikiran maju kedepan untuk keluar dari tatanan sosial yang menempatkan
perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Salah satu cara
Esperanza untuk keluar dari tatanan sosial tersebut adalah dengan menulis.
Dalam artikel jurnal The
"Dual"-ing Images of la Malinche and la Virgen de Guadalupe in
Cisneros's The House on Mango Street yang ditulis oleh Lelis Petty,
karakter Esperanza sendiri digambarkan sebagai perpaduan antara la Malinche dan
la Virgen de Guadalupe dalam mitologi latin. “Therefore Esperanza transcends the good/bad dichotomy associated with
these archetypes and becomes a new model for Chicana womanhood: an independent,
autonomous artist whose house is of the heart, not worshiper, nor of the
conqueror.” (Petty, halaman 123)
Works Cited
Bhabha, H. (1992). The World and the
Home. Third World and Post-Colonial Issue.
Cisneros, S. (n.d.). Caramelo.
Cisneros, S. (n.d.). The House on Mango
Street.
Cisneros, S. (n.d.). Woman Hollering
Creek and Other Stories.
Petty, L. (2000). The "Dual"-ing
Images of la Malinche and la Virgen de Guadalupe in Cisneros's The House on
Mango Street. Melus.