Selasa, 24 Februari 2015

Initial Draft Seminar on Literature

   The House on Mango Street dan Caramelo adalah dua novel karya Sandra Cisneros yang berkisah tentang kehidupan immigran Latin di Amerika Serikat. Kedua novel tersebut dikisahkan melui sudut pandang dua tokoh utama dalam kedua novel tersebut, Esperanza dan Celaya. Novel ini merupakan novel Coming-of-age karena memuat kisah hidup kedua protagonis dalam novel tersebut sedari masih kecil hingga beranjak dewasa. Sedankan Woman Hollering Creek dan Eleven adalah dua cerita pendek karya Sandra Cisneros yang berada dalam kumpulan cerita pendek bertajuk Woman Hollering Creek and Other Stories. Permasalahan utama yang saya temukan dalam karya-karya tersebut adalah permasalahan mengenai identitas yang dialami oleh kaum imigran latin di Amerika Serikat. Para imigran tersebut seakan mengalami ambivalensi terhadap identitas mereka. Pada saat yang bersamaan, mereka menerima dan menolak untuk dikenakan dalam suatu budaya dari dua budaya yang melekat. Masalah berikutnya yang saya temukan, dan masih ada kaitannya dengan permasalahan sebelumhya, adalah tentang growing-up. Dimana pada masa pencarian identitas itu, tokoh-tokoh dalam karya Sandra Cisneros tumbuh dewasa dan dibentuk dalam dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Amerika Serikat dan budaya Latin. Saya pun menemukan permasalahan tentang bagaimana peranan perempuan dalam suatu budaya. Bagaimana dalam hubungan lelaki dan perempuan terbentuk suatu hirarki, yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan pria dalam suatu konstruksi budaya.
   Beberapa narasi dalam karya-karya Sandra Cisneros, menggambarkan bahwa tokoh-tokoh dalam kisah tersebut memiliki rasa kepemilikan akan tanah air asal mereka dan tetap menjalankan budaya asal mereka, yang menjadi budaya minoritas di tempat mereka tinggal, sehingga rumah bagi mereka adalah tanah air asal mereka. Namun disisi lain, para tokoh dalam kisah-kisah tersebut seakan membaur dengan budaya mayoritas ditempat tinggal mereka, yaitu budaya Amerika, dan menjadikan Amerika, secara sadar maupun tak sadar, menjadi rumah kedua pula bagi mereka.
Seperti yang dijelaskan dalam The World and The Home oleh Homi Bhaba, “to be unhomed is not to be homeless, nor that the “unhomely” be easily accomodated in that familiat division of social life into private and the public spheres.” (Bhabha, halaman 141). Para tokoh dalam karya Cisneros mengalami apa yang disebut Bhaba sebagai unhomely. Bukan keadaan mereka tidak memiliki rumah sebagai payung berteduh mereka, namun lebih kepada rasa kepemilikan yang mereka miliki. Konsep rumah itu sendiri dapat kita lihat melalui perspektif tokoh Esperanza dalam novel The House on Mango Steet dalam di bawah ini:
We didn’t always live on Mango Street. Before that we lived on Loomis on the third floor, and before that we lived on Keeler. Before Keeler it was Paulina, and before that I can’t remember. But what I remember most is moving a lot. Each time it seemed there’d be one more of us. By the time we got to Mango Street we were six—Mama, Papa, Carlos, Kiki, my sister Nenny and me.” (Cisneros, halaman 3)
I knew then I had to have a house. A real house. One I could point to. But this isn’t it. The house on Mango Street isn’t it. For the time being, Mama says. Temporary, Papa says. But I know how those things go.” (Cisneros, halaman 5)
We didn’t always live on Mango Street. Before that we lived on Loomis on the third floor, and before that we lived on Keeler. Before Keeler it was Paulina, but what I remember most is Mango Street, sad red house, the house I belong but do not belong to.” (Cisneros, halaman 109-110)
   Pada dua kutipan pertama, dapat kita lihat bagaimana Esperanza memandang rumah yang ia tinggali di Mango Street dan bagaimana pandangannya tentang rumahnya berubah pada kutipan ketiga. Pada dua kutipan pertama, Esperanza mengalami apa yang disebut Bhabha sebagai displacement, dan pada kutipan ketiga Esperanza sudah mulai dapat menerima rumahnya di Mango Street sebagai rumah untuk pulang, namun kalimat “the house I belong but not belong to” masih menunjukan ada nya paradoks yang terjadi didalam dirinya. Disatu sisi ia memiliki rasa kepemilikan atas rumahnya di Mango Street, namun disisi lain tidak.
   Apa yang disebut Bhabha sebagai displacement bukan hanya  dialami oleh karakter Esperanza, kita bisa melihat contoh lain dari displacement yang mengakibatkan keterasingan pada karakter Mamacita yang diceritakan sekilas dalam novel The House on Mango Street. Walaupun digambarkan secara sekilas, tokoh Mamacita menjadi signifikan dan penting karena Mamacita digambarkan sebagai pribadi yang sama sekali tak mau berbaur dengan budaya mayoritas di tempat tinggalnya. Ia tak menggunakan bahasa Inggris, dan setiap malam selalu menangis dan mendengarkan radio dengan bahasa Spanyol. Esperanza menggambarkan Mamacita sebagai seorang yang takut untuk menggunakan bahasa Inggris yang merupakan bahasa mayoritas dan hanya mengetahui delapan kata dalam bahasa tersebut. Hal ini yang membuat Mamacita teralienasi dari lingkungannya.
   Keterasingan yang dirasakan karena benturan dua budaya yang berbeda bukan hanya dapat kita temukan pada karakter Mamacita dalam The House on Mango Street namun juga dapat kita lihat pada karakter Rafael dalam novel Caramelo sesaat setelah Rafael kembali ke Amerika setelah mengenyam pendidikan di sekolah militer di Meksiko.
He tries talking to us in Spanish, but we don’t use that language with kids, we only use it with growns-ups. We ignore him and keep watching our television cartoons.
Later when he feels like it and can talk about it, he’ll explain what it’s like to be abandoned by your parents and left in the country where you don’t have enough words to speak the things inside you.” (Cisneros, halaman 23)
Keadaan terasing dari dari dunia luar dijelaskan Bhabha dalam The world and the Home, “It could be said of these moments that they are of the world but not fully in it; thay they represent the outsideness of the outsideness of the inside that is too painful to remember.” (Bhabha, halaman 152)
   Ketaksaan akan dua kultur yang berbeda dapat kita lihat pula dalam novel Caramelo pada saat Celaya atau Lala, sang tokoh utama yang sekaligus pula berperan sebagai narator, dan keluarganya pergi melintasi perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Lala berkata,”As soon as we cross the bridge everything switches to another language. Toc, says the light switch in this country, at home it says click.” (Cisneros, halaman 17). Dapat kita lihat bagaimana Lala mengatakan bahwa Meksiko adalah “home” namun disisi lain ia merasa asing ketika bahasa yang ia gunakan di negara tempat ia tinggal tak lagi menjadi bahasa nomer satu di tempat yang ia sebut sebagai “home”-nya. Disini peran perbatasan menjadi  signifikan. Ketika melintasi perbatasan, Lala melintasi antara satu tempat ke tempat lain dengan dua budaya yang berbeda, ke tempat yang seharusnya menjadi rumah baginya namun terasa asing karena ia tak dibesarkan disana, namun ia masih memiliki rasa kepemilikan karena ayah dan ibunya berasal dari sana, seperti yang dijelaskan Bhabha dalam The world and the Home pada halaman 143, “suddenly the home turns into another world”. Saat itulah, melintasi perbatasaan, berarti melintasi dua kultur yang berbeda. Batas antara mana yang sebenarnya rumah, dan mana yang sebenarnya tempat merantau menjadi kabur, karena ditempat yang dianggap rumah pun, ia merasa asing, Hal ini dijelaskan pula oleh Bhabha;
The border between home and world becomes confused; and, uncannily, the private and the public become part of each other, forcing upon us a vision that is as divided as it is disorienting.” (Bhabha, halaman 141).
   Perasaan asing akan suatu tempat yang dianggap rumah karena tidak dibesarkan disana merupakan permasalahan yang terjadi ketika kita tumbuh dewasa diatas dua kultur yang berbeda. Permasalah tentang beranjak dewasa (growing up) ini juga hadir dalam cerita pendek berjudul Eleven dalam kumpulan cerita pendek Woman Hollering Creek and Other Stories. Cerpen ini bertutur dari sudut pandang seorang anak perempuan yang sedang merayakan ulang tahunnya yang kesebelas pada hari itu. Bagaimana menurutnya, berumur sebelas tahun berarti dituntut untuk bersikap lebih dewasa dari sebelumnya, untuk tidak menangis seperti anak usia tiga tahun, namun sebenarnya dalam dirinya ia masih memiliki sifat-sifat kekenak-kanakan.
   Selain itu, narator dalam karya-karya Sandra Cisneros seolah menuturkan tentang adanya ketidaksetaraan gender dalam masyarakat, dimana terdapat suatu hirarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Narator dalam karya-karya Sandra Cisneros adalam para tokoh perempuan yang menjadi tokoh sentral dalam cerita, sehingga mereka seakan mempertanyakan dan melawan adanya ketidak setaraan tersebut.
   Dalam The House on Mango Street terdapat beberapa tokoh laki-laki abusive yang menjadikan tokoh perempuan dalam cerita sebagai korbannya. Diantaranya adalah suami dari Mamacita dan Ayah dari Sally. Begitu pula dalam cerpen Woman Hollering Creek dari buku kumpulan cerpen Woman Hollering Creek and other Stories yang mengisahkan suami yang memukuli istrinya. Kekerasan itu dapat terjadi karena adanya hirarki yang menempatkan pria ditempat yang lebih tinggi, sehingga para tokoh laki-laki dalam cerita merasa memiliki power lebih yang membuat ia merasa dapat bertindak abusive pada para tokoh perempuan dalam cerita.
   Hirarki tersebut tergambar dalam percakapa antara Rafael dan Lala dalam novel Caramelo;
Especially the brothers laugh and point and call me a boy.
--Oh, brother! What a chillona you turned out to be. Now what? Mother asks.
—What could be worst than being a boy?
--Being a girl! Rafa shouts. And everyone in the car laughs even harder.” (Cisneros, halaman 22)
   Selain itu, karakter Esperanza dalam novel The House on Mango Street digambarkan sebagai perempuan yang berpikiran modern dan memiliki pikiran maju kedepan untuk keluar dari tatanan sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Salah satu cara Esperanza untuk keluar dari tatanan sosial tersebut adalah dengan menulis. Dalam artikel jurnal The "Dual"-ing Images of la Malinche and la Virgen de Guadalupe in Cisneros's The House on Mango Street yang ditulis oleh Lelis Petty, karakter Esperanza sendiri digambarkan sebagai perpaduan antara la Malinche dan la Virgen de Guadalupe dalam mitologi latin. “Therefore Esperanza transcends the good/bad dichotomy associated with these archetypes and becomes a new model for Chicana womanhood: an independent, autonomous artist whose house is of the heart, not worshiper, nor of the conqueror.” (Petty, halaman 123)

Works Cited

Bhabha, H. (1992). The World and the Home. Third World and Post-Colonial Issue.
Cisneros, S. (n.d.). Caramelo.
Cisneros, S. (n.d.). The House on Mango Street.
Cisneros, S. (n.d.). Woman Hollering Creek and Other Stories.
Petty, L. (2000). The "Dual"-ing Images of la Malinche and la Virgen de Guadalupe in Cisneros's The House on Mango Street. Melus.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar